Penulis CERITA terkenal

  • Penulis Cerita Terkenal www.facebook.com/RinsoIndonesia
    Semua ibu bisa jadi seorang penulis Hanya di Rinso Cerita Dibalik Noda
Iklan oleh Google

Jumat, 21 September 2012

Tidurlah dengan posisi perut kananmu

Artikel bagus....kalau tidak suka abaikan saja....

Kalau mau tidur, coba lakukan sebuah sunah yang ringan berikut ini. Tidurlah dengan posisi perut kananmu ada di bawah (menghadap kanan) kemudian letakkan tanganmu di pipi kemudian berdoalah, “Bismika allahumma amuutu wa ahyaa”. Demikian sunah Nabi kita tercinta shallallahu ‘alaihi wa sallam
@almohannam Syaikh Muhammad bin Sulaiman Al Muhanna, anggota Institut Ilmu Kehakiman Saudi Arabia (bagian dari Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud), dan salah seorang da’i di Kementerian Urusan Islam, KSA

Ternyata banyak sunnah Rasul dan larangan Rasul yang terbukti secara ilmiah, beberapa diantaranya :

1.Tidur dengan Posisi Miring ke sebalah Kanan

Dari al-Barra` bin Azib, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Apabila kamu hendak tidur,maka berwudhulah (dengan sempurna) seperti kamu berwudhu untuk shalat, kemudian berbaringlah di atas sisi tubuhmu yang kanan”

“Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)

a. Mengistirahatkan otak sebelah kiri
Secara anatomis, otak manusia terbagi menjadi 2 bagian kanan dan kiri. Bagian kanan adalah otak yang mempersarafi organ tubuh sebelah kiri dan sebaliknya. Umumnya ummat muslim menggunakan organ tubuh bagian kanan sebagai anggota tubuh yang dominan dalam beraktifitas seperti makan, memegang dan lainnya. Dengan tidur pada posisi sebelah kanan, maka otak bagian kiri yang mempersarafi segala aktiftas organ tubuh bagian kanan akan terhindar dari bahaya yang timbul akibat sirkulasi yang melambat saat tidur/diam. Bahaya tersebut meliputi pengendapan bekuan darah, lemak , asam sisa oksidasi, dan peningkatan kecepatan atherosclerosis atau penyempitan pembuluh darah. Sehingga jika seseorang beresiko terkena stroke, maka yang beresiko adalah otak bagian kanan, dengan akibat kelumpuhan pada sebelah kiri (bagian yang tidak dominan).

b. Mengurangi beban jantung.
Posisi tidur kesebelah kanan yang rata memungkinkan cairan tubuh ( darah )terdistribusi merata dan terkonsentrasi di sebelah kanan ( bawah ). Hal ini akan menyebabkan beban aliran darah yang masuk dan keluar jantung lebih rendah. Dampak posisi ini adalah denyut jantung menjadi lebih lambat, tekanan darah juga akan menurun. Kondisi ini akan membantu kualitas tidur.

c. Mengistirahatkan lambung.
Lambung manusia berbentuk seperti tabung berbentuk koma dengan ujung katup keluaran menuju usus menghadap kearah kanan bawah. Jika seorang tidur kesebelah kiri maka proses pengeluaran chime (makanan yang telah dicerna oleh lambung dan bercampur asam lambung) akan sedikit terganggu, hal ini akan memperlambat proses pengosongan lambung. Hambatan ini pada akhirnya akan meningkatkan akumulasi asam yang akan menyebabkan erosi dinding lambung. Posisi ini juga akan menyebabkan cairan usus yang bersifat basa bias masuk balik menuju lambung dengan akibat erosi dinding lambung dekat pylorus.

d. Meningkatkan pengosongan kandung empedu, pankreas.
Adanya aliran chime yang lancar akan menyebabkan keluaran cairan empedu juga meningkat, hal ini akan mencegah pembentukan batu kandung empedu. Keluaran getah pancreas juga akan meningkat dengan posisi mirin ke kanan.

e. Meningkatkan waktu penyerapan zat gizi.
Saat tidur pergerakan usus menigkat. Dengan posisi sebelah kanan, maka perjalanan makanan yang telah tercerna dan siap di serap akan menjadi lebih lama, hal ini disebabkan posisi usus halus hingga usus besar ada dibawah. Waktu yang lama selamat tidur memungkinkan penyerapan bias optimal.

f. Merangsang buang air besar (BAB)
Dengan mtidur miring ke sebelah kanan , proses pengisian usus besar sigmoid ( sebelum anus ) akan lebih cepat penuh, jika sudah penuh akan merangsang gerak usus besar diikuti relaksasi dari otot anus sehingga mudah buang air Besar.

g. Mengisitirahatkan kaki kiri
Pada orang dengan pergerakan kanan, secara ergonomis guna menyeimbangkan posisi saat beraktifitas cenderung menggunakan kaki kiri sebagai pusat pembebanan. Sehingga kaki kiri biasanya cenderung lebih merasa pegal dari kanan, apalgi kaki posisi paling bawah dimana aliran darah balik cenderung lebih lambat. Jika tidur miring kanan , maka pengosongan vena kaki kiri akan lebih cepat sehingga rasa pegal lebih cepat hilang. Dari uraian diatras tampak banyak manfaat tidur dengan posisi miring. Mudah-mudahan uraian tersebut dapat membawa manfaat bagi umat dalam mengamalkan salah satu sunnah nabi.

Sumber : Kitab Shohih Al Bukhori, Kitab Shohih Muslim

Minggu, 26 Agustus 2012

ACARA HALAL BIL HALAL Keluarga BESAR BANI RAOYAN

Foto-foto keluarga besar BANI RAOYAN dalam Acara HALAL BIL HALAL 1433H
Dirumah Mbah Pah ( Musyarofah )  Simolawang Tgl. 20 Agustus 2012












Selasa, 21 Agustus 2012

PENTINGNYA SILAHTURRAHMI

MENYAMBUNG SILATURAHMI MESKIPUN KARIB KERABAT BERLAKU KASAR

| 0 comments
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).
Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2166).
FIQIH HADITS (3) : MENYAMBUNG SILATURAHMI MESKIPUN KARIB KERABAT BERLAKU KASAR
Imam Ibnu Manzhur rahimahullah berkata tentang silaturahmi: “Al-Imam Ibnul-Atsir rahimahullaht berkata, ‘Silaturahmi adalah ungkapan mengenai perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab atau karena perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi mereka, memperhatikan keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat. Sedangkan memutus silaturahmi, adalah lawan dari hal itu semua’.” [1]
Dari pengertian di atas, maka silaturahmi hanya ditujukan pada orang-orang yang memiliki hubungan kerabat dengan kita, seperti kedua orang tua, kakak, adik, paman, bibi, keponakan, sepupu, dan lainnya yang memiliki hubungan kerabat dengan kita.
Sebagian besar kaum Muslimin salah dalam menggunakan kata silaturahmi. Mereka menggunakannya untuk hubungan mereka dengan rekan-rekan dan kawan-kawan mereka. Padahal silaturahmi hanyalah terbatas pada orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Adapun kepada orang yang bukan kerabat, maka yang ada hanyalah ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam).
Silaturahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik dengan orang yang telah berbuat baik kepada kita, namun silaturahmi yang hakiki adalah menyambung hubungan kekerabatan yang telah retak dan putus, dan berbuat baik kepada kerabat yang berbuat jahat kepada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا.
“Orang yang menyambung kekerabatan bukanlah orang yang membalas kebaikan, tetapi orang yang menyambungnya adalah orang yang menyambung kekerabatannya apabila diputus”.[2]
Imam al-‘Allamah ar-Raghib al-Asfahani rahimahullah menyatakan bahwa rahim berasal dari kata rahmah yang berarti lembut, yang memberi konsekuensi berbuat baik kepada orang yang disayangi.[3]
Ar-Rahim, adalah salah satu nama Allah. Rahim (kekerabatan), Allah letakkan di ‘Arsy. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مَعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ، تَقُوْلُ: مَنْ وَصَلَنِيْ وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِيْ قَطَعَهُ اللهُ.
“Rahim (kekerabatan) itu tergantung di ‘Arsy. Dia berkata,”Siapa yang menyambungku, Allah akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku, Allah akan memutuskannya”.[4]
Menyambung silaturahmi dan berbuat baik kepada orang tua adalah wajib berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sebaliknya, memutus silaturahmi dan durhaka kepada orang tua adalah haram dan termasuk dosa besar.
Allah Ta’ala berfirman:
” …Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan…” [al-Baqarah/2:27]
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “Pada ayat di atas, Allah menganjurkan hamba-Nya agar menyambung hubungan kerabat dan orang yang memiliki hubungan rahim, serta tidak memutuskannya”.[5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan antara menyambung silaturahmi dengan keimanan terhadap Allah dan hari Akhir. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi” [6].
Dengan bersilaturahmi, Allah akan melapangkan rezeki dan memanjangkan umur kita. Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturahmi, Allah akan sempitkan rezekinya atau tidak diberikan keberkahan pada hartanya.
Adapun haramnya memutuskan silaturahmi telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ.
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi”. [7]
Bersilaturahmi dapat dilakukan dengan cara mengunjungi karib kerabat, menanyakan kabarnya, memberikan hadiah, bersedekah kepada mereka yang miskin, menghormati mereka yang berusia lebih tua dan menyayangi yang lebih muda dan lemah, serta menanyakan terus keadaan mereka, baik dengan cara datang langsung, melalui surat, maupun dengan menghubunginya lewat telepon ataupun short massage service (sms). Bisa juga dilakukan dengan meminta mereka untuk bertamu, menyambut kedatangannya dengan suka cita, memuliakannya, ikut senang bila mereka senang dan ikut sedih bila mereka sedih, mendoakan mereka dengan kebaikan, tidak hasad (dengki) terhadapnya, mendamaikannya bila berselisih, dan bersemangat untuk mengokohkan hubungan di antara mereka. Bisa juga dengan menjenguknya bila sakit, memenuhi undangannya, dan yang paling mulia ialah bersemangat untuk berdakwah dan mengajaknya kepada hidayah, tauhid, dan Sunnah, serta menyuruh mereka melakukan kebaikan dan melarang mereka melakukan dosa dan maksiat.
Hubungan baik ini harus terus berlangsung dan dijaga kepada karib kerabat yang baik dan istiqamah di atas Sunnah. Adapun terhadap karib kerabat yang kafir atau fasik atau pelaku bid’ah, maka menyambung kekerabatan dengan mereka dapat melalui nasihat dan memberikan peringatan, serta berusaha dengan sungguh-sungguh dalam melakukannya.[8]
Silaturahmi yang paling utama adalah silaturahmi kepada kedua orang tua. Orang tua adalah kerabat yang paling dekat, yang memiliki jasa yang sangat besar, mereka memberikan kasih dan sayangnya sepanjang hidup mereka. Maka tidak aneh jika hak-hak mereka memiliki tingkat yang besar setelah beribadah kepada Allah. Di dalam Al-Qur`ân terdapat banyak ayat yang memerintahkan kita agar berbakti kepada kedua orang tua.
Birrul-walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, baik berupa bantuan materi, doa, kunjungan, perhatian, kasih sayang, dan menjaga nama baik pada saat keduanya masih hidup maupun setelah keduanya meninggal dunia. Birrul-walidain adalah perbuatan baik yang paling baik.
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ : اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ: قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ : الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ.
“Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,”Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).” Aku bertanya,”Kemudian apa?” Beliau menjawab,”Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya,”Kemudian apa?” Beliau menjawab,”Jihad di jalan Allah.” [9]
Selain itu, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang kita berbuat durhaka kepada kedua orang tua. Sebab, durhaka kepada kedua orang tua adalah dosa besar yang paling besar.
Silaturahmi memiliki sekian banyak manfaat yang sangat besar, diantaranya sebagai berikut.
1. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
2. Dengan bersilaturahmi akan menumbuhkan sikap saling tolong-menolong dan mengetahui keadaan karib kerabat.
3. Dengan bersilaturahmi, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan umur kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bersabda:
مَنْ أَ حَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ .
“Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi” [10].
4. Dengan bersilaturahmi, kita dapat menyampaikan dakwah, menyampaikan ilmu, menyuruh berbuat baik, dan mencegah berbagai kemungkaran yang mungkin akan terus berlangsunng apabila kita tidak mencegahnya.
5. Silaturahmi sebagai sebab seseorang masuk surga.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ.
“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi” [11].
PENUTUP
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan wasiat Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala. Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada kelurga dan para sahabat beliau.
Akhir seruan kami, segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Ramadhan (06-07)/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lisânul-‘Arab (XV/318).
[2]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5991), Abu Dawud (no. 1697), dan at-Tirmidzi (no. 1908), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu
[3]. Lihat Mufrâdât al-Fâzhil-Qur`ân, halaman 347.
[4]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5989) dan Muslim (no. 2555), dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Lafazh ini milik Muslim.
[5]. Tafsîr ath-Thabari (I/221).
[6]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6138), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[7]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5984) dan Muslim (no. 2556), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. Lihat Qathî`atur-Rahim: al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul-‘Ilaj, oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, halaman 21-22.
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim (no. 85), an-Nasâ`i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), dan Ahmad (I/409-410,439, 451).
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5986) dan Muslim (no. 2557 (21)).
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1396) dan Muslim (no. 13).
Marâji’:
1. Al-Qur`ânul-Karim dan terjemahannya, terbitan Departemen Agama.
2. al-Adabul-Mufrad.
3. Al-Mu’jamul-Kabîr.
4. An-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts.
5. As-Sunanul-Kubra.
6. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim.
7. Al-Washâya al-Mimbariyyah, karya ‘Abdul-‘Azhim bin Badawi al-Khalafi.
8. Hilyatul Auliyâ`.
9. Irwâ`ul Ghalîl fî Takhriji Ahâdîtsi Manâris Sabîl.
10. Lisânul-‘Arab.
11. Mawâridizh Zhamm`ân.
12. Mufrâdât Alfâzhil-Qur`ân.
13. Musnad ‘Abd bin Humaid.
14. Musnad al-Humaidi.
15. Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaini. Karya Imam al-Hakim an-Naisaburi.
16. Musnad Imam Ahmad.
17. Qathî`atur Rahim; al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul ‘Ilâj, oleh Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd.
18. Shahîh al-Bukhari.
19. Shahîh Ibni Hibban.
20. Shahîh Ibni Khuzaimah.
21. Shahîh Muslim.
22. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
23. Sunan Abu Dawud.
24. Sunan an-Nasâ`i.
25. Sunan at-Tirmidzi.
26. Sunan Ibni Majah.
27. Syarah Shahîh Muslim.
28. Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi.
29. Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari, Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
30. Tafsîr Ibni Katsir, Cet. Darus-Salam, Riyadh.
Sumber : http://almanhaj.or.id/content/2666/slash/0/menyambung-silaturahmi-meskipun-karib-kerabat-berlaku-kasar/

Rabu, 18 Juli 2012

ARTIKEL Bagus untuk di BACA waktu Luang

Bolehnya Makan dan Minum Sambil Berdiri!

2 Komentar
 
 
 
 
 
 
3 Votes

Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Dalam masalah ini, sebagian orang bersikap terlalu keras. Demikian sikap kami pula di masa silam. Namun setelah mengkaji dan melihat serta menimbang dalil ternyata dapat disimpulkan bahwa minum dan makan sambil berdiri sah-sah saja, artinya boleh. Karena dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri dan keadaan lain sambil duduk. Intinya, ada kelonggaran dalam hal ini. Tetapi afdholnya dan lebih selamat adalah sambil duduk.

Kami awali pembahasan ini dengan melihat beberapa dalil yang menyebutkan larangan makan dan minum sambil berdiri, setelah itu dalil yang menyebutkan bolehnya. Lalu kita akan melihat bagaimana sikap para ulama dalam memandang dalil-dalil tersebut.
Dalil Larangan
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari minum sambil berdiri.” (HR. Muslim no. 2024).
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu pula, ia berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا
“Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau melarang seseorang minum sambil berdiri.” Qotadah berkata bahwa mereka kala itu bertanya (pada Anas), “Bagaimana dengan makan (sambil berdiri)?” Anas menjawab, “Itu lebih parah dan lebih jelek.” (HR. Muslim no. 2024). Para ulama menjelaskan, dikatakan makan dengan berdiri lebih jelek karena makan itu membutuhkan waktu yang lebih lama daripada minum.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِىَ فَلْيَسْتَقِئْ
“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan.” (HR. Muslim no. 2026)
Dalil Pembolehan
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,
سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا
“Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,
كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَمْشِى وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ
“Kami dahulu pernah makan di masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sambil berjalan dan kami minum sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi no. 1880 dan Ibnu Majah no. 3301. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dalil ini bahkan menyatakan makan sambil berjalan.
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا
“Aku pernah melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- minum sambil berdiri, begitu pula pernah dalam keadaan duduk.” (HR. Tirmidzi no. 1883 dan beliau mengatakan hadits ini hasan shahih)
Menyikapi Dalil
Al Maziri rahimahullah berkata,
قَالَ الْمَازِرِيّ : اِخْتَلَفَ النَّاس فِي هَذَا ، فَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى الْجَوَاز ، وَكَرِهَهُ قَوْم
“Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat boleh (makan dan minum sambil berdiri). Sebagian lainnya menyatakan makruh (terlarang).” (Lihat Fathul Bari, 10: 82)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,
بَلْ الصَّوَاب أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى التَّنْزِيه ، وَشُرْبه قَائِمًا لِبَيَانِ الْجَوَاز ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ نَسْخًا أَوْ غَيْره فَقَدْ غَلِطَ ، فَإِنَّ النَّسْخ لَا يُصَار إِلَيْهِ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ ، وَفِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبَيَانِ الْجَوَاز لَا يَكُون فِي حَقّه مَكْرُوهًا أَصْلًا ، فَإِنَّهُ كَانَ يَفْعَل الشَّيْء لِلْبَيَانِ مَرَّة أَوْ مَرَّات ، وَيُوَاظِب عَلَى الْأَفْضَل ، وَالْأَمْر بِالِاسْتِقَاءَةِ مَحْمُول عَلَى الِاسْتِحْبَاب ، فَيُسْتَحَبّ لِمَنْ شَرِبَ قَائِمًا أَنْ يَسْتَقِيء لِهَذَا الْحَدِيث الصَّحِيح الصَّرِيح ، فَإِنَّ الْأَمْر إِذَا تَعَذَّرَ حَمْله عَلَى الْوُجُوب حُمِلَ عَلَى الِاسْتِحْبَاب
“Yang tepat adalah larangan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenai minum sambil berdiri dibawa ke makna makruh tanzih. Sedangkan dalil yang menyatakan beliau minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Adapun yang mengklaim bahwa adanya naskh (penghapusan hukum) atau semacamnya, maka itu keliru. Tidak perlu kita beralih ke naskh (penggabungan dalil) ketika masih memungkinkan untuk menggabungkan dalil yang ada meskipun telah adanya tarikh (diketahui dalil yang dahulu dan belakangan). Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya karena tidak mungkin kita katakan beliau melakukan yang makruh. Beliau kadang melakukan sesuatu sekali atau berulang kali dalam rangka untuk menjelaskan (suatu hukum). Dan kadang beliau merutinkan sesuatu untuk menunjukkan afdholiyah (sesuatu yang lebih utama). Sedangkan dalil yang memerintahkan untuk memuntahkan ketika seseorang minum sambil berdiri menunjukkan perintah istihbab (sunnah, bukan wajib). Artinya, disunnahkan bagi yang minum sambil berdiri untuk memuntahkan yang diminum berdasarkan penunjukkan tegas dari hadits yang shahih ini. Karena jika sesuatu tidak mampu dibawa ke makna wajib, maka dibawa ke makna istihbab (sunnah).”(Fathul Bari, 10: 82)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan,
وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه . وَأَمَّا شُرْبه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، فَلَا إِشْكَال وَلَا تَعَارُض
“Yang tepat dalam masalah ini, larangan minum sambil berdiri dibawa ke makna makruh tanzih (bukan haram). Adapun hadits yang menunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri, itu menunjukkan bolehnya. Sehingga tidak ada kerancuan dan pertentangan sama sekali antara dalil-dalil yang ada.” (Syarh Muslim, 13: 195)
Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata,
وَقَدْ أَشْكَلَ عَلَى بَعْضهمْ وَجْه التَّوْفِيق بَيْن هَذِهِ الْأَحَادِيث وَأَوَّلُوا فِيهَا بِمَا لَا جَدْوَى فِي نَقْله ، وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه ، وَأَمَّا شُرْبه قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ النَّسْخ أَوْ الضَّعْف فَقَدْ غَلِطَ غَلَطًا فَاحِشًا . وَكَيْف يُصَار إِلَى النَّسْخ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع بَيْنهمَا لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ ، وَأَنَّى لَهُ بِذَلِكَ وَإِلَى الْقَوْل بِالضَّعْفِ مَعَ صِحَّة الْكُلّ .
“Sebagian orang bingung bagaimana cara mengkompromikan dalil-dalil yang ada sampai-sampai mentakwil (menyelewengkan makna) sebagian dalil. Yang tepat, dalil larangan dibawa ke makna makruh tanzih. Sedangkan dalil yang menunjukkan minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Adapun sebagian orang yang mengklaim adanya penghapusan (naskh) pada dalil atau adanya dalil yang dho’if (lemah), maka itu keliru. Bagaimana mungkin kita katakan adanya naskh (penghapusan) dilihat dari tarikh (adanya dalil yang dahulu dan ada yang belakangan) sedangkan dalil-dalil yang ada masih mungkin dijamak (digabungkan)? Bagaimana kita katakan dalil yang ada itu dho’if (lemah), padahal semua dalil yang menjelaskan hal tersebut shahih? ” (‘Aunul Ma’bud, 10: 131)
Catatan: Sebagian orang mengatakan bahwa minum air zam-zam disunnahkan sambil berdiri berdasarkan riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas. Anggapan ini tidaklah tepat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum zam-zam sambil berdiri menunjukkan kebolehkan saja agar orang tidak menganggapnya terlarang. Jadi yang beliau lakukan bukanlah suatu yang sunnah atau sesuatu yang dianjurkan. Sebagaimana dikatakan Al Bajuri dalam Hasyiyah Asy Syamail,
وإنما شرب (ص) وهو قائم، مع نهيه عنه، لبيان الجواز، ففعله ليس مكروها في حقه، بل واجب، فسقط قول بعضهم إنه يسن الشرب من زمزم قائما اتباعا له
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri. Padahal di sisi lain beliau melarangnya. Perbuatan minum sambil berdiri tadi menunjukkan bolehnya. Jadi yang beliau lakukan bukanlah makruh dari sisi beliau, bahkan bisa jadi wajib (untuk menjelaskan pada umat akan bolehnya). Sehingga gugurlah pendapat sebagian orang yang menyatakan disunnahkan minun air zam-zam sambil berdiri dalam rangka ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Dinukil dari I’anatuth Tholibin, 3: 417)
Amannya: Makan dan Minum Sambil Duduk
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah diajukan pertanyaan, “Sebagian hadits nabawiyah menjelaskan larangan makan dan minum sambil berdiri. Sebagian hadits lain memberikan keluasan untuk makan dan minum sambil berdiri. Apakah ini berarti kita tidak boleh makan dan minum sambil berdiri? Atau kita harus makan dan minum sambil duduk? Hadits mana yang lebih baik untuk diikuti?”
Syaikh rahimahullah menjawab:
Hadits-hadits yang membicarakan masalah ini shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu melarang minum sambil berdiri, dan makan semisal itu. Ada pula hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau minum sambil berdiri. Masalah ini ada kelonggaran dan hadits yang membicarakan itu semua shahih, walhamdulillah. Sedangkan larangan yang ada menunjukkan makruh. Jika seseorang butuh makan sambil berdiri atau minum dengan berdiri, maka tidaklah masalah. Ada hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil duduk dan berdiri. Jadi sekali lagi jika butuh, maka tidaklah masalah makan dan minum sambil berdiri. Namun jika dilakukan sambil duduk, itu yang lebih utama.
Ada hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum air zam-zam sambil berdiri. Ada pula hadits dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri dan duduk.
Intinya, masalah ini ada kelonggaran. Namun jika minum dan makan sambil duduk, itu yang lebih baik. Jika minum sambil berdiri tidaklah masalah, begitu pula makan sambil berdiri sah-sah saja. (Sumber fatwa: http://www.binbaz.org.sa/mat/3415)
Kami dapat simpulkan bahwa minum sambil berdiri itu boleh. Hal ini disamakan dengan makan sebagaimana keterangan dari Syaikh Ibnu Baz di atas. Namun langkah hati-hatinya, kita tetap minum atau makan dalam keadaan duduk dalam rangka kehati-hatian.
Wallahu a’lam bish showwab. Wallahu waliyyut taufiq fil ‘ilmi wal ‘amal.
07 Rajab 1433 H
Ummul Hamam, Riyadh, KSA.
Artikel: Rumaysho.com publish kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com

Kamis, 07 Juni 2012



USP Syariah ( Unit Simpan Pinjam ) ISTIKHARO
VISI
Meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggota keluarga dan menciptakan lapangan usaha bagi anggota keluarga.
MISI
Memberikan pendidikan ekonomi, manajemen dan kewirausahaan dalam kemandirian ekonomi anggota keluarga.
TUJUAN
USP Syariah Istikharo bertujuan untuk membantu memfasilitasi permodalan anggota keluarga ISTIKHARO yang ingin mendirikan USAHA atau mengembangkan USAHA yang ada, agar lebih berkembang dan bermanfaat bagi anggota keluarga maupun keluarga besar pada umumnya.
Dasar berdirinya USP (unit simpan pinjam) Syariah Istikharo berdasarkan rapat pengurus dan Pembina anggota keluarga besar BANI Raoyan, tanggal 29 April 2012 di rumah saudara Endra Lesmana yang dihadiri oleh segenap Pengurus dan Pembina ISTIKHARO.
Adapun hasil rapat tersebut menetapkan :
1.      Pengurus USP Syariah ISTIKHARO periode 2012 - 2015
2.      Menentukan besaran Simpanan Wajib dan Iuran Wajib Anggota USP Syariah ISTIKHARO
3.      Keanggotaan USP Syariah ISTIKHARO.
4.      Hak dan Kewajiban anggota USP Syariah ISTIKHARO.
5.      Laporan keuangan USP Syariah ISTIKHARO.
6.      Pola Muamalah dalam USP Syariah ISTIKHARO.
PENGURUS & PEMBINA USP Syariah ISTIKHARO
Periode 2012 - 2015
Ketua/Manajer                        : Endra Lesmana                     Pembina          : Bp. A. Djunaedi
Sekretaris/Juru Buku              : Erry Afiliandi                                                : Bp. Tjatur Priambodo
Bendahara/Kasir                    : Sigrid Maurise Zahra                                    : Bp. M. Rasyad

POLA MUAMALAH Dalam USP SYARIAH ISTIKHARO
1.      Konsep Ibadah dalam ISLAM
Sebagai suatu system hidup (millah, din) ajaran ISLAM dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian besar.
Pertama : yang berhubungan dengan ibadah khusus, yaitu hubungan manusia dengan ALLAH (dimensi vertical),
Kedua : yaitu ibadah yang berhubungan dengan sesama manusia (dimensi horizontal) atau yang biasa disebut dengan muamalat.
Kedua jenis ibadah ini tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Jika keduanya dipisahkan maka manusia akan mendapatkan kehinaan.
Kata muamalat berasal dari bahasa arab, dengan akar kata ‘aamala yang berarti saling berhubungan, bergaul. Muamalat berarti hubungan yang tercipta antara pergaulan dua makhluk atau lebih. Dalam pergaulan sesama manusia, kita dapat batasi muamalat ini menjadi dua bagian besar, yaitu “muamalat maaliyah” yaitu hubungan yang berkaitan dengan masalah harta atau ekonomi dan bagian “muamalat ghairu maaliyah” yaitu hubungan yang tidak berkaitan dengan harta seperti pernikahan, hukum, politik dan sebagainya. Untuk mengetahui pola muamalat dalam USP Syariah, maka pembahasan tentang konsep muamalat dalam hal ini ditekankan pada “muamalat maaliyah”.

2.      Prinsip dan Etika Bisnis ISLAM
Prinsip ekonomi ISLAM meliputi :
·         Kekayaan merupakan amanah dari ALLAH SWT dan tidak dapat dimiliki secara mutlak.
·         Manusia diberikan kebebasan untuk bermuamalah selama tidak melanggar ketentuan Syariah.
·         Manusia merupakan khalifah dan pemakmur dimuka bumi.
·         Penghapusan praktek RIBA.
·         Penolakan terhadap monopoli.
Etika Bisnis ISLAM meliputi :
·         Jujur dan Amanah
·         Adil
·         Profesional
·         Saling bekerja sama (Ta’awun)
·         Sabar dan tabah

3.      Hubungan Ekonomi dalam ISLAM
Bentuk hubungan ekonomi antara pihak-pihak yang terlibat dalam system ekonomi ISLAM ditentukan oleh hubungan akad. Jenis-jenis akad tersebut adalah :
·         Akad pertukaran
·         Akad titipan
·         Akad bersyarikat
·         Akad memberi kepercayaan
·         Akad memberi ijin

Dari bentuk-bentuk akad tersebut, bentuk akad yang dapat diterapkan dalam USP Syariah ISTIKHARO adalah akad pertukaran, akad titipan, dan akad bersyarikat.
·         Akad Pertukaran
Akad pertukaran terjadi apabila terjadi pertukaran antara harta dengan harta. Yang dimaksud harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai, termasuk mata uang. Bentuk hubungan ini merupakan salah satu awal penyelenggaraan hubungan muamalat dalam ISLAM. Akad pertukaran inilah yang mendasari terjadinya akad jual beli.
Pengertian Jual Beli
“Adalah proses pemindahan hak milik/ barang atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya”.
Dasar Hukum Jual Beli
“ Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”. ( QS : Annisa (4) : 29 )
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan RIBA”. (QS :Al Baqarah (2):275 )
Rukun Jual Beli
·         Penjual
·         Pembeli
·         Barang yang dijual
·         Harga
·         Ijab Qabul (perjanjian/persetujuan)
Syarat Penjual dan Pembeli
·         Sempurna akal dan fikirannya
·         Cukup Umur
·         Cakap (mengerti secara hukum)
·         Tidak ada paksaan dalam melakukan Jual Beli (saling Ridha)
Untuk menjamin bahwa jual beli dilakukan tanpa paksaan maka perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian (ijab qabul) yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak dalam pelaksanaan akad tersebut termasuk menerima segala dampaknya.
Syarat Barang
Barang yang diperjualbelikan harus memenuhi persyaratan untuk mencegah adanya penipuan dan hal lain yang dapat merugikan penjual/pembeli. Syarat barang yang akan dijual adalah sebagai berikut :
·         Halal.
·         Barang yang dijual ada dihadapan penjual dan pembeli.
·         Jelas kepemilikannya.
·         Jelas kriterianya (ukuran, bentuk, warna, dan sifat).

Syarat Harga
·         Jelas harganya
·         Jenis mata uang yang digunakan sebagai alat pembayaran harus jelas
·         Pembayaran barang yang dijual boleh ditangguhkan dengan syarat :
-          Ada kepastian jangka waktu dan cara pembayarannya.
-          Jangka waktu pembayaran terhitung sejak tanggal penyerahan barang yang diperjual belikan.
-          Jangka waktu pembayaran tidak boleh didasarkan pada musim yang tidak tetap.
-          Penjual berhak menentukan harga.
Jenis Jual Beli
Terdapat beberapa bentuk perjanjian jual beli, namun yang berhubungan dengan kegiatan USP Syariah ISTIKHARO adalah Al Murabahah.
Al Murabahah adalah proses jual beli dengan memberikan margin keuntungan yang telah disepakati. Pola murabahah dapat diterapkan dalam pembiayaan pengadaan barang, yaitu disebut Pembiayaan Murabahah. Karena sangat tepat untuk mengakomodasi kebutuhan nasabah terhadap pengadaan barang untuk keperluan USAHA. Besarnya harga jual adalah harga beli (pokok) ditambah keuntungan.

·         Akad Titipan
Pengertian Titipan (Al Wadiah)
Al Wadiah diartikan sebagai titipan (simpanan) dari pihak yang memiliki barang berharga kepada pihak yang menyimpan (yang dititipi) yang harus dijaga dan dikembalikan ketika pihak yang memiliki barang menghendaki. Dalam USP Syariah ISTIKHARO, akad titipan ini dapat diterapkan dalam simpanan pembiayaan.
Dasar Hukum
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya”. (QS : Annisa (4) : 58 )
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya dan hendaklah dia bertakwa kepada tuhannya”. (QS: Al Baqarah (2) : 283 )
Hadist : “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat terhadap orang yang telah mengkhianatimu”. HR. Abu Daud dan Tirmidzi.
Jenis barang-barang Titipan :
o   Harta benda
o   Uang
o   Dokumen
o   Barang berharga lain


Syarat bagi pihak yang dititipi
o   Dapat dipercaya untuk mengembalikan titipan secara utuh (Amanah).
o   Dapat menjamin keamanan dan pengembalian barang yang dititipkan.
Jenis Al Wadiah Adalah :
Wadiah Yad Al Amanah adalah : titipan murni dengan pengertian pihak yang dititipi tidak diperbolehkan memanfaatkan barang yang dititipkan. Pada saat titipan dikembalikan, barang yang dititipkan berada dalam kondisi yang sama seperti saat dititipkan. Jika barang yang dititipkan mengalami kerusakan selama masa penitipan maka pihak yang menerima titipan tidak dibebani tanggung jawab. Sebagai imbalan atas tanggung jawab pemeliharaan titipan, pihak penerima titipan dapat meminta biaya penitipan.
Wadiah Yad Ad Dhamanah adalah : akad titipan yang mengandung pengertian bahwa penerima titipan diperbolehkan memanfaatkan dan berhak mendapatkan keuntungan dari titipan. Penerima titipan bertanggung jawab atas titipan bila terjadi kerusakan atau kehilangan. Serta keuntungan yang diperoleh pihak yang menerima titipan dapat diberikan sebagaian kepada pihak yang menitipkan (sebagai bonus) dengan syarat tidak diperjanjikan sebelumnya.

·         Akad Bersyarikat
Pengertian akad bersyarikat adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak mengikutsertakan modal (dalam berbagai bentuk) dengan perjanjian pembagian keuntungan yang disepakati bersama.
Akad bersyarikat dibedakan atas :
§    Al Musyarakah (Syirkah)
Adalah suatu akad kerjasama antara beberapa pemilik modal untuk menyertakan modalnya dalam suatu usaha, dimana masing-masing pihak mempunyai hak untuk ikut serta, mewakilkan, membatalkan haknya dalam pelaksanaan/ manajemen usaha tersebut. Keuntungan hasil usaha ini dapat dibagi menurut perhitungan antara proporsi penyertaan modal atau berdasarkan kesepakatan bersama. Jika terjadi kerugian kewajiban masing-masing pihak yang menyertakan hanya sebatas jumlah modal yang disertakan.
Dasar Hukum
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh (QS. Shad (38) : 24 )
“Allah SWT telah berkata : saya menyertai dua pihak yang sedang berkongsi selama salah satu keduanya tidak mengkhianati yang lain, seandainya berkhianat maka saya keluar dari penyertaan tersebut”. HR. Abu Hurairah.

§    Al Mudharabah (Al Qiradh)
Pengertian Al Mudharabah adalah suatu akad kerjasama untuk melaksanakan suatu usaha antara dua pihak, yaitu pihak penyedia modal/ dana (shahib al mal) dan pihak yang mengelola usaha (mudharib).


Dasar Hukum
“Dan sebagian dari mereka orang-orang yang berjalan di muka bumi, mencari sebagian dari karunia ALLAH SWT”. (QS. Al Muzammil (73) : 20 )
Syarat Mudharabah
MODAL
o   Dinyatakan dalam nilai nominal yang jelas
o   Dibayar secara tunai
o   Langsung diserahkan kepada Mudharib (pengelola) untuk segera memulai usaha.
Pembagian Hasil Usaha
o   Keuntungan dibagikan dengan perbandingan yang telah disepakati bersama dan dituangkan dalam perjanjian tertulis.
o   Pembagian keuntungan dapat dilakukan setelah Mudharib mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada pemilik modal (shahib al mal).
Resiko Usaha
o   Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian akan ditanggung oleh shahibul maal dan mudharib tidak mendapatkan keuntungan atas usaha yang telah dilakukannya.
o   Untuk memperkecil resiko terjadinya kerugian, shahib al maal dapat memberikan persyaratan kepada mudharib dalam menjalankan usahanya dan disepakati bersama.
Dalam kegiatan usaha USP Syariah Istikharo, Akad mudharabah dapat diterapkan pada hal-hal sebagai berikut :
a.       USP Syariah Istikharo berfungsi sebagai Mudharib dalam kegiatan penyimpanan Dana.
b.      USP Syariah Istikharo berfungsi sebagai Shahib Al Mal dalam kegiatan penyaluran Dana.
Perbedaan Mudharabah dan Musyarakah
Kriteria
Mudharabah
Musyarakah
1.      Prinsip Dasar
Sumber modal hanya berasal dari Shohibul Maal.
Kepercayaan Penuh (trusty financing)
Sumber modal berasal dari Shohibul Maal dan Mudharib.
Adanya keterlibatan shohibul maal (joint financing)
2.      Manajemen
Hanya pengusaha, pemilik modal tidak terlibat.
Dapat terlibat atas kesepakatan bersama.
3.      Penanggung Kerugian
Pemilik Modal
Bersama-sama
4.      Jenis Modal
Uang Tunai
Uang dan Harta benda dinilai dalam uang.

4.      Jaminan ( Agunan )
Pengertian Jaminan adalah bentuk perwujudan dari itikad yang baik dari pengguna dana untuk menjalankan usaha dengan sebenar-benarnya serta penuh rasa tanggung jawab.


Dasar Hukum
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”. (QS. Al Baqarah (2) : 283 )

Fungsi Jaminan dalam pembiayaan
-          Menambah tingkat kepercayaan pemilik dana kepada pengguna dana.
-          Menjaga amanah yang diberikan pemilik dana kepada pengguna dana.
-          Meningkatkan tingkat kehati-hatian pengguna dana dalam menjalankan Usaha.
-          Meningkatkan rasa tanggung jawab pengguna dana untuk mengembalikan dana yang diterimanya.

PENGHIMPUNAN DANA & PENYALURAN DANA
1.      Penghimpunan Dana
Adalah : Usaha untuk mengumpulkan dana dari berbagai sumber, baik dari anggota keluarga maupun dari pihak lain.
2.      Simpanan
Menurut peraturan pemerintah no.9/tahun 1995 tentang pelaksanaan kegiatan koperasi simpan pinjam oleh DINAS KOPERASI bahwa pengertian Simpanan adalah : Dana yang dipercayakan oleh anggota, calon anggota dalam bentuk TABUNGAN dan SIMPANAN.
Adapun Manfaat SIMPANAN :
Bagi penyimpan :
·         Membentuk sikap hemat
·         Menyimpan dan mengembangkan permodalan
·         Menanamkan rasa percaya diri
·         Menyiapkan hari depan yang lebih baik
·         Mengendalikan diri dari sikap boros
·         Memperolah bagi hasil
·         Membantu orang lain
·         Memenuhi kebutuhan secara mendadak
·         Secara tidak langsung, mendidik penyimpan(anggota USP Syariah) dalam pengaturan ekonomi rumah tangga dan meningkatkan kesejahteraan serta pendapatan penyimpan (anggota USP Syariah)
Bagi USP Syariah :
·         Meningkatkan permodalan USP Syariah ISTIKHARO
·         Sumber dana penyaluran pembiayaan kepada anggota keluarga USP Syariah.
·         Dapat digunakan sebagai jaminan
·         Meningkatkan SHU (sisa hasil usaha) sehingga meningkatkan kemampuan USP Syariah untuk membiayai usahanya
·         Memupuk kebersamaan, saling percaya dan saling membantu sesame anggota USP Syariah ISTIKHARO.



JENIS-JENIS SIMPANAN
SIMPANAN POKOK
            Simpanan Pokok dibayarkan satu kali yaitu pada saat mendaftar sebagai anggota USP Syariah ISTIKHARO. Dengan besaran Simpanan Pokok adalah sama untuk setiap anggota USP Syariah ISTIKHARO. Atas kesepakatan bersama seluruh anggota keluarga besar ISTIKHARO besarnya simpanan pokok USP Syariah ISTIKHARO sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) bisa ditambah. Simpanan pokok ini tidak boleh diambil selama yang bersangkutan masih menjadi anggota USP Syariah.
SIMPANAN WAJIB
            Simpanan Wajib dibayarkan setiap bulan oleh semua anggota keluarga yang terdaftar dalam keanggotaan USP Syariah ISTIKHARO. Besarnya Simpanan Wajib adalah SAMA untuk setiap anggota USP Syariah ISTIKHARO. Atas kesepakatan bersama seluruh anggota keluarga besar ISTIKHARO besarnya simpanan wajib USP SYARIAH ISTIKHARO sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)
TABUNGAN MUDHARABAH
            Adalah Simpanan di USP Syariah ISTIKHARO yang penyetorannya dilakukan berangsur-angsur dan penarikannya hanya dapat dilakukan dengan menggunakan BUKU TABUNGAN. Setoran minimal pertama (saat pembukaan tabungan) sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dan setoran minimal selanjutnya sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).
3.      Pembiayaan & Penyaluran Dana
Pembiayaan (pinjaman) merupakan kegiatan USP Syariah ISTIKHARO yang sangat penting dan menjadi penunjang kelangsungan hidup USP Syariah ISTIKHARO, jika dikelola secara baik dan professional.
Penyaluran Dana dalam istilah perbankan syariah biasa disebut dengan pembiayaan, sedangkan dalam Koperasi disebut pinjaman.
Dasar pemberian pinjaman kepada anggota USP Syariah adalah kepercayaan bahwa anggota USP Syariah mempunyai kemampuan untuk mengembalikan pinjaman/ pembiayaan.
Pengertian tersebut diatas mengandung unsure-unsur yaitu :
·         Unsur Kepercayaan, yaitu mempercayakan sejumlah uang untuk dikelola peminjam.
·         Unsur Waktu, yaitu adanya jangka waktu pengembalian pinjaman.
·         Unsur Resiko, yaitu akibat yang dapat timbul karena adanya jangka waktu antara pemberian pinjaman dan pelunasannya.
·         Unsur Penyerahan, yaitu nilai ekonomi uang yang dikembalikan pada saat pelunasan nilainya sama dengan nilai ekonomi uang pada saat pemberian pinjaman.
Manfaat pembiayaan bagi anggota USP Syariah
·         Menambah modal yang dapat digunakan untuk membiayai usaha produktifnya, yaitu untuk memperkuat usaha yang telah ada atau untuk membentuk usaha baru.
·         Memperoleh sarana produksi secara terus menerus.
·         Meningkatkan pendapatan yang diperoleh sebagai akibat tambahan modal dalam usaha produktifnya.
Manfaat bagi USP Syariah (pengelola)
·         Merupakan sumber pembentukkan kekayaan dan pendapatan yang dapat menjamin kelangsungan kegiatan usaha USP Syariah ISTIKHARO.
·         Memungkinkan USP Syariah ISTIKHARO untuk memiliki usaha produktif sesuai kebutuhan anggotanya.
Jenis-jenis Pembiayaan
·         Pembiayaan investasi, yaitu pembiayaan untuk pengadaan sarana/ alat produksi.
·         Pembiayaan Modal Kerja, yaitu pembiayaan untuk pengadaan bahan baku atau barang yang akan diperdagangkan
Berdasarkan sektor usaha yang dibiayai
·         Perdagangan, contohnya : toko kelontong, warung makan, toko penjualan pulsa, pedagang keliling, pedagang pasar dan sebagainya.
·         Industri, contohnya : pembuatan tempe tahu, kerupuk, batu bata, makanan ringan (camilan), kerajinan, konveksi, dan sebagainya.
·         Pertanian, contohnya : sayuran, palawija dan sebagainya.
·         Peternakan, contohnya : ternak ayam, itik, ikan, kambing, kelinci dan sebagainya.
·         Jasa, contohnya : foto copy, cuci cetak foto, sablon, percetakan, penjahit dsb.
Berdasarkan Prinsip Syariah Islam
·         Pembiayaan Jual Beli ( Murabahah )
·         Pembiayaan Bagi Hasil ( Mudharabah )
4.      Analisa pembiayaan.
Analisa pembiayaan diperlukan agar USP Syariah memperoleh keyakinan bahwa
Pembiayaan yang diberikan dapat dikembalikan oleh anggota USP Syariah ISTIKHARO.
Ada 2 (dua) aspek yang perlu dianalisa :
·         Analisa terhadap KEMAUAN BAYAR, disebut analisa kualitatif. Aspek yang dianalisa mencakup karakter/ watak dan komitmen anggota.
·         Analisa terhadap KEMAMPUAN BAYAR, disebut analisa kuantitatif. Analisa kuantitatif yang dinilai adalah aspek kemampuan memperoleh keuntungan, sisa pinjaman dengan pihak lain (kalau ada), serta beban rutin diluar kegiatan usaha.
Hal-hal yang perlu dilakukan :
·         Analisa rugi laba masa lalu jika ada
·         Hitung semua penerimaan diluar usaha
·         Hitung pendapatan bersih.
·         Tentukan perbandingan antara angsuran dengan pendapatan bersih (Rasio Angsuran).
·         Besarnya angsuran maksimal adalah 40% - 50% dari pendapatan bersih.
·         Rasio Angsuran X Pendapatan bersih X Jangka waktu